Cahaya di Atas Cahaya

Cerpen AMIN R ISKANDAR

SABTU sore, langit masih cerah. Saya tertidur pulas di kost-an sempit. Bagaimana saya bisa tahu kalau langit cerah? Saya kan lagi tidur pulas sore itu. Saya tahu karena teman saya, di kamar sebelah, bilang begitu saat saya bangun. Kamar ukuran 4×6 m tidak terlalu kecil bagi perantau, saya pikir. Masalahnya buku dan tumpukan koran menyebabkannya jadi sempit. Sampai-sampai terkadang saya harus tidur di atas tumpukan koran. Sorry, jangan sangka saya tukang rongsokan yang menampung kiloan koran. Kalau menganggap saya mahasiswa yang rajin baca buku dan koran, itu agak mendingan, karena akan terlihat sedikit rajin. Cielaaa…..

Tepat ketika gelap malam mengecup elegi langit saya terbangun dari pulas. Sial.. saya sama sekali tidak mimpi makan. Padahal, baru saja mencoba terapi tidur, untuk mengusir lapar. Maklum, dari pagi tidak sesendok nasi masuk ke perut ini. Kata orang, kalau lapar tidur saja, siapa tahu nasib mujur datang lewat mimpi, mimpi makan.

Tanpa mandi, cuma gosok gigi, cuci muka, basuh tangan hingga sikut, basahi kepala, dan bersihkan kaki hingga mata kaki yang sampai detik ini tidak bisa melihat. Lantas saya dirikan “hobi” menyembah Tuhan yang bersemayam dalam jiwa, lima kali dalam sehari (itu ritual formal loh…). Jujur, hobi saya tadi dilakukan sama sekali bukan untuk mengusir lapar. Tapi amanat ayah sebelum ia ber-sayonara dengan dunia dan keluarga. Ia bilang waktu itu, “Jangan kamu pernah lupa akan waktu dan harus hidup jujur.” Katanya, saya masih ingat.

Malam minggu, termangu sendiri; di kost-an, bosan, lapar, sepi, sendiri, tentu masih lapar. Saya coba memutar kepala. Ke mana kira-kira harus pergi; dari kost-an, mengusir bosan, mengusir lapar, mengubah duduk sendiri, tentu intinya saya harus cari makan. Mendiang ayah tidak mewariskan harta kecuali “waktu” dan “jujur”. Tidak menyuruh cari pacar, juga tidak melarang saya punya pacar lebih dari satu.

Lajimnya, malam Minggu apeli pacar, sebagai anak muda, mahasiswa lagi. Tapi… jangan bilang saya tidak punya pacar, jomblo!!!. Waktunya saja yang lagi tidak berpihak; Evi lagi mudik, liburan. Rumahnya jauh, di Cikelet, Garut Selatan lebih jauh lagi dari Pamengpek. Dari terminal Garut saja tiga jam perjalanan lagi. Nining ke Sukabumi, Yuni pulang ke Tasikmalaya, saya jadi sendiri di Bangdung. Huh… percuma punya tiga pacar kalau tidak bisa diapeli, saya mendesah dalam keluh. Tapi saya kembali jujur, saya tida rugi. Coz, ketiganya amat menyayangi saya selama ada di Bandung. Mereka lah yang sudi mencintai saya. Yang lain banyak nolak saat saya pinta jadi pacar.

Teringat pepatah orang bijak. “Jangan pikirkan ke mana Anda harus pergi, pergilah lebih dulu, kemudian Anda akan tahu tempat mana yang terbaik Anda kunjungi.” Saya bukan tipe orang gampang percaya. Setidaknya harus empiris. Meski tadi kata orang bijak, orang bijak juga manusia. Bahasa (pepatah) perlu pembuktian, bahasa bijak sekalipun. Saya mahasiswa, segala harus empiris. Karena kewajiban akademis. Dosen saya mengajarkan demikian.

Jaket lusuh dan berdebu saya ambil, dua bulan belum disapa air dan sabun. Lantas jaket dikenakan pada badan. Cukup untuk lindungi pori-pori dari tusukan angin malam yang dingin. Celana pendek tak apa lah saya memakainya, tidak ada orang yang larang. Pacar juga tidak. Mereka tidak akan melihat. Kalaupun melihat, mereka takan pernah mengira kalau ini adalah saya, pacar mereka. Pacar saya tidak pernah tahu kalau pacarnya ini suka pakai celana pendek.

Lantas mulai keluar kamar, pintunya tak pernah saya kunci. Peduli amat pencuri masuk dan ambil barang. Barang berharga yang biasa ditinggal hanya buku dan koran. Ponsel selalu saya bawa, ke kamar mandi sekalipun saya bawa. Selain itu tidak ada. Computer, tape, TV, sepatu, dan jam dinding saya anggap bukan barang berharga. Wajar, karena saya tidak pernah memiliki semuanya.

Benar-benar betul. Kaki tak pernah tahu ke mana harus ia pergi. Di sela sapaan angin malam, ia sigap melangkah. Sandal jepit jadi alas tak jadi bahan protes. Karet hitam melingkar di pergelangannya. Meski demikian kedua tangan saya teramat sangat menyayanginya. Tidak pernah rela membiarkan ia kering bak cangkul pembajak sawah. Setiap pagi kaki ini diberi elusan Hand Body oleh tangan. Supaya mulus, katanya. Tangan ini ikhlas sekalipun ia tak pernah dirawat kaki. Mestinya saya mulai belajar keikhlasan dari tangan saya sendiri, pikir saya sewaktu-waktu.

Tidak sampai satu jam, hanya lima menit perjalanan. Kaki telah mengantar tiba di Taman Kampus. Di sana sepi. Siapa yang akan ditemui? Saya sendiri tidak tahu. Siapa yang dapat mengusir sepi? Memberi makan? Mengubah sendiri? Saya lagi-lagi tidak tahu.

Tanpa mengingat pepatah orang bijak tadi. Saya duduk di atas tembok di dalam Taman Kampus. Menyandarkan punggung di salah satu dinding taman. Saya arahkan kepala ke langit tinggi. Bulan hadir dalam utuh. Kenapa orang bilang ini purnama? Tidak dengan nama lain asal bukan purnama. Ricau tanya saya di hati. Tidak dengan nama saya, misalnya. Atau dengan nama ayah saya. Siapa pula orang pertama yang melihatnya lantas ia menyebutnya purnama? Jawabannya saya tidak tahu.

Planet lain yang juga bercahaya berkelipan di dekitar bulan itu. Ranum laksana… entahlah ia laksana apa. Apa harus saya tanyakan pertanyaan tadi untuk planet ini? Kenapa orang bilang itu bintang? Siapa orang pertama yang melihat dan memberinya nama? Ah… lagi-lagi jawabannya saya tidak tahu. Yang saya tahu dan yakini hanya satu. Baik langit maupun apa yang bercahaya di bawahnya adalah sama halnya dengan saya. Semua semata-mata hasil maha karya dari kuasa yang Satu. Yang selalu saya sembah dan saya paksa untuk bersemayam dalam jiwa. Tak perduli apa nama benda itu. Tak perduli sebesar apa bentuknya. Tak perduli secerah apa cahayanya. Sama sekali saya tidak perduli.

Mata masih tidak lepas dari objeknya. Masih ke langit. Masih ke benda yang bercahaya penuh. Masih pada planet ranum dengan cahaya yang berkerlip. Masih memberi paksaan pada otak untuk terus berputar dan berpikir. Berpikir akan keagungan sang creator sempurna. Tentang pencipta maha karya. Pemberi wujud dalam nama yang berbeda. Pembentuk relip yang berbeda. Dan cahaya yang berbeda. Berpikir akan cahaya yang tidak dapat diterjemahkan mata buta ini. Cahaya di atas segala cahaya. Cahaya yang hingga malam yang perut ini masih lapar belum bisa saya bayangkan.

Cahaya di atas segala cahaya. Cahaya pencipta segala maha karya yang sempurna.

2 respons untuk ‘Cahaya di Atas Cahaya

Tinggalkan Balasan ke aryn'z Batalkan balasan