Meninjau Ulang Manifestasi Politik Adiluhung

ORASI

Oleh AMIN R ISKANDAR

Mahasiswa Jurnalistik Universitas Islam Negeri Bandung

Apakah selamanya politik itu kejam?

Apakah selamanya ia datang ‘tuk mengancam?

Belasan tahun silam, Iwan Fals melantunkan sair lagu di atas sebagai penyikapan kritis akan wajah perpolitikan negeri ini. Lagu di atas memotret politik bagaikan binatang pemangsa yang ganas dan siap menerkam apa dan siapa saja yang berani mendekat untuk mengusik, mengganggu, dan atau melawan bahkan membunuhnya (baca:meruntuhkan suatu rezim).

Kendati syair tersebut diciptakan belasan tahun silam, saya pikir tidak mengurangi sisi relevansi syair di atas jika kembali mengangkatnya ke muka publik. Terutama di tengah fenomena hajatan demokrasi yang kian hari semakin ramai (baca:memanas). Lanjutkan membaca “Meninjau Ulang Manifestasi Politik Adiluhung”

“V”

Oleh TEGUH IBN BHARADY

Sungguh setiap tempat memiliki penunggu yang setia. Apa pun itu. Akan ditunggu oleh jiwa-jiwa yang bergantung padanya. Meski raga membawa ke mana pun pergi, jiwa akan tersisa dan setia menunggu tempat yang dicintainya. Setidaknya ditunggu dalam kenangan dan kerinduan yang membelenggu. Maka darinya, setiap raga yang berkelana akan diikuti jiwa yang menyimpan kerinduan untuk kembali pada tempat asal kecintaannya.

Seperti yang menimpa Teguh. Pemuda berparas lebih tua dari usianya. Kerap termenung dengan beribu gagasan yang mengembang dalam kerinduan yang sangat untuk mengantar jiwa ke tempat yang dicintainya, sepenuh hati. Sambil menyandarkan punggungnya di tiang bendera, Teguh memandangi langit dengan tatapan kosong, seorang diri. Sekosong jiwanya yang selalu terbang melintasi kali di samping rumahnya, gundukan tanah yang menimbun jasad Bapaknya, juga keringat Ibu yang selalu membasuh tubuh keriput nan legam terbakar matahari. Tak terasa ada genangan basah dimatanya; banjir dan membasahi pipi yang berjerawat. “Huh!!! Jangan menangis kawan, engkau seorang lelaki.” Gumamnya menasehati diri sendiri. Tangan kanan menyapu pipi hingga kering. Namun masih menatap ke langit luas.

Lanjutkan membaca ““V””

Percakapan di Malam Natal


Oleh TEGUH IBN BHARADY

pohon natal1TOPAN adalah seorang mahasiswa yang sedikit dikenal di kampusnya. Tapi bukan karena kepintaran atau kenakalanya. Melainkan karena ia seorang yang tidak teratur, aneh dan–kata sahabat-sahabatnya—tak tentu pegangan hidupnya, tak terarah. Kadang bergerombol tapi sering dijumpai dalam kesendirian. Ia bagaikan orang asing di tengah-tengah keramaian, terkenal dalam kehening-sepian.

Seperti di suatu malam, ia duduk termenung seorang diri. Punggungnya disandarkan pada tiang bendera di halaman depan kampus kuliahannya. Sesekali kepala mendongak ke atas, mamandangi langit luas, tak jarang sampai merebahkan tubuh di atas tembok yang menghampar. Nampak awan samar-samar berkejaran disiram gemerlap cahaya bintang, tidak sampai terang karena bulan bukan pada waktu purnama di mana ia menampakkan diri seutuhnya.

Sungguh kehidupan Topan teramat sepi, sunyi dan sering hanya sendiri. Kesendiriannya malam itu bukanlah kali pertama ia alami. Meski tidak setiap hari, tapi orang kerap menjumpainya termenung di tempat yang sama, di malam-malam dingin sekalipun. Bahkan di musim hujan, aktivitasnya hampir tidak jauh berbeda, ia baru akan berteduh jika hujan benar-benar turun. Kalau nasibnya mujur, ia akan mendapatkan teman tiba-tiba dan ditinggalkan tiba-tiba pula. Lanjutkan membaca “Percakapan di Malam Natal”