Simbol Ambigu

Tuhan;

Kuasa-Mu beri kami simbol-simbol ambigu

Dalam kata dan benda

                                                                        Air, tanah, api, dan udara

Banyak yang hinakan padahal perkasa

                                                            Kehidupan dan kesembuhan;

Kemakmuran dan kesejahteraan;

Kesakitan dan kerusakan;

Kesejukan dan ketenangan;

Sulit kami jaga dalam keseimbangan

 

Ketumpulan akal

Yanga Kau hadiahkan sebagai anugerah

Jadi senjata saling tebas-saling jaga

Satu sama lain.

Sedikit kearifan berjuang mererai

Lagi-lagi kalah dalam pengasingan

Lagi-lagi jadi kambing hitam.

 

Bukan kuasa kami untuk menuntut

Kacuali berserah akan kuasa-Mu lewat takdir

Semua yang tersembunyi

Di balik simbol-simbol ambigu

Dalam kata dan benda

Kami masih saja berdiri

Di atas tanah-Mu terhampar luas

Di tengah putaran udara tak lagi jernih

Dan masih bergantung pada api dan air

                                                           

Kata-kata-Mu terhimpun dalam kitab suci;

Dikenal sebagai wahyu langit diturunkan ke bumi

Benda-benda-Mu tertata dalam semesta alam;

Pelipur sunyi antara siang dan malam

Lagi-lagi ketumpulan akal

Beku oleh keambiguan mengkristal

Maka tak pantas kami bersombong diri

Kecuali berserah pada Penguasa segala arti.

Tuhan;

Kuasa-Mu beri kami simbol-simbol ambigu

Dalam kata dan benda.

Sebab kami sepi dari pengerti

Alpa dari segala keaslian bermakna

Memaksa berjelaga di seberang sesat

Yang tak pandai bersyukur

Hanyut dalam nikmat sesaat

Serakah pada harta yang tampak nyata

Bangga pada ketinggian jabatan diri.

Tasikmalaya, 7 Februari 2008

Refleksi Maulid Nabi

Oleh AMIN RAIS ISKANDAR

Turunkan Harga Sembako

Turunkan lekas harga sembako

Agar kami dapat makan nikmat

Seperti anda-anda wahai pejabat

Sudah bosan rasanya makan dengan TO

Tutug Oncom bukan tidak nikmat

Bukan juga berarti tak bergizi

Tapi habis duit buat beli nasi

Tak dapat hidup nikmat dalam melarat

Harga bahan baku melambung tinggi

Bala-bala tak terjangkau dibeli

Apalagi beli daging dan ati

Hanya makan nasi dan gigit jari

Ini musim; musim pemilu

Duit hambur ongkos kampanye

Tukang warung sementara tutup dulu

Modal habis barang tak nyisa

Sebab pusing gundul kepala

Jangankan sayuran dan susu

Yang ada pamphlet kampanye

Sebab ini musim; musim pemilu

Hidup di kota sebagai mahasiswa

Makan sehari hanya sekali

Di desa; ibu tani bapak dah mati

Otak ngumet badan kurang gizi

Jangan salahkan jika ‘ga kerja. 

Bandung, Maret 2008

 

 

Qurban

Yang pigur

Yang tidak mundur

Menyembelih putra di padang pasir

Tiga syetan pergi karna diusir

Kaki diinjak

Tangan diikat

Rambut dijambrat

Nadi leher tipotong; urat

Untung tiada berontak

Berserah pada satu perintah

Anak dan bapak

Sepakat dalam satu cinta

Patuhi mimpi perintah

Satu yang harus dipatuh.

Tuhan pencinta

Semalam datang lewat mimpi

Putra

Harta

Dan tahta

Menjelma Tuhan baru manusia

Memperbudak

Dipuja

Dan diindahkan

Lupa bahwa hanya amanat

            Putra dimanja

Harta dijaga

Tahta dibela

Tuhan?

“tertawa” menyaksi alpa manusia.

Tasikmalaya, Desember 2007.

 

Stabilitas

Di sini dan di sana sama saja

Mengumpul harap

Membangun kekuatan hidup

Dalam persimpangan aku berjelaga

Mencoba ungkapkan marah

Dengan senyum kedamaian

Menekan emosi

Sembunyikan seram mimic muka

Meleset dari sasaran

Anggaplah hal biasa

Jangan patahkan semangat

Perjuangan hanya untuk maju

Kadang aku membangun

tanpa nikmati kemegahan

tapi saat berhenti membangun

justru mencuri kenikmatan.

Bandung, Februari 2008

 

Aku berdiri di atas

kertas-kertas polos

Dipenuhi hasrat meretas

Nasib di hari keras.

Bandung, Februari 2008.

 

Surat Buat Evi

Aku yang mengagumimu memandang lekat wajah dari jauh

dan telah lama sekali.

Entah mengapa dan dari mana.

Serasa ada percikan cahanya kehangatan menusuk sukma

dan luluhkan pertahanan kokoh Keimanan

yang telah lama dibangun Dengan keikhlasan nan tulus.

Kamu yang kupandangi setiap waktu di bawah cahaya rembulan

laksana membangun lebirin penuh teka-teki logika sulit dipahami.

Kelembutan tatapan mata nan ayu

mengalirkan sungai anggur memabukan dengan deras

dalam relung-relung kekosongan jiwa ini.

Padahal keheranan terasa dari kamu yang belum kukenal namanya.

Aku sekedar penulis syair-syair cinta tanpa menemukan keaslian cinta di hati

Namun entah mengapa di balik kegersangan cinta nyata ini

Mendorongku bayak harap agar cahayamu memancar lebih terang lagi.

Tentu do’aku bertutur agar kau sanggup membantu.

 

Meski kamu belum kenal aku, luangkanlah waktumu tuk balas secercah isi hati ini.

Dan aku yang hidup di Dunia Maya “085222837555”, memohon dengan sangat!!!.

Bandung, Maret 2008

 

 

Refleksi Maulid Nabi

 

Pada hari kelahiran Nabi

12 Rabiul Awal tahun ini

Cahaya profhetic kian memudar

Benar dan salah berganti mondar-mandir

 

Spirit spiritualitas berwajah tak jelas

Pragmatis dan idealis tiada berbatas

Benar dan salah ‘ga lagi berharu

Putih dan hitam bersatu jadi abu

 

Dalam bimbang

Berpikir seorang diri;

Perang pedang bukan zaman lagi

Agama berperang di panggung dagang

 

Kupandang pada kupu-kupu

Indah sayapnya jadi icon baru

Televisi tidak aneh menjelma tuhan

Bervolume tinggi di rumah peribadatan

 

Kudengar dari imam Ali Syariati

Semakin tinggi alat teknologi

Semakin besar kebiadaban

Jika etika publik kian diabaikan

 

Hijrahku pada masa lalu

Saat bermukim di kaki Galunggung

Mendiang ayah pernah marah besar

Bendu pada cerita “Lutung Kasarung”

Televisi is buat aku tabu

 

Ketika 12 Rabiul Awal itu

Puja-puji mengalun merdu

Dalam genre klasik di tiap mesjid

Tak ada music tiada joged

 

Mimbar disulap jadi panggung konser

Medium penyampai pesan profhetic

Bersandar harap “syafaat” deras mengalir

Niat tak lagi dibiar melirik

Bandung, Maret 2008

Dampak Ekonomi pada Perilaku Perceraian

Oleh AMIN RAIS ISKANDAR

“Perkara halal yang dibenci Allah adalaha cerai”. (al-hadist).

Isi kandungan (matan) hadist di atas, secara tidak langsung mengatakan bahwa cerai adalah perilaku tidak mulia. Dalam ajaran Islam selalu ada hukum kausalitas yang mesti disikapi dengan arif. Jika tidak dikhawatirkan akan menjerumuskan manusia pada kesia-siaan (baca: kehancuran). Cerai dibolehkan manakala memang perlu dan terpaksa harus dilakukan. Dalam ajaran Islam sendiri ada tiga tahapan sebelum akhirnya jatuh pada puncak perceraian.

Tahap pertama adalah peringatan. Baik kesalahan yang timbul dari pihak isteri maupun suami, klarifikasi adalah hal mutlak yang harus dijalani. Tahapan kedua suami diperbolehkan untuk mengasingkan isterinya. Dalam istilah lain suka dibilang “pisah ranjang”, dengan catatan suami dan isteri masih hidup dalam satu atap. Tahapan ketiga dibolehkannya suami memukul isterinya. Tentu atas dasar kasih sayang bukan amarah dan dendam. Sebab sebagai seorang kepala keluarga, suami memiliki kewajiban melindungi isterinya supaya tidak terjerumus ke jalan sesat.

Jika memang dari ketiga tahapan tadi masih juga tidak memberi solusi. Maka di sanalah talaq (ungkapan cerai) boleh keluar dari pihak suami. Setelah cerai kedua belah pihak masih boleh menjalin tali silaturahmi. Artinya betapa Islam mengajarkan tentang sakralitas pernikahan. Sampai-sampai membutuhkan proses panjang agar kesakralannya tidak ternoda. Orang Sunda suka bilang, kalau sudah “nista-maja-utama”, baru hukuman berat boleh berlaku. Ini mencerminkan adanya akuturasi antara ajaran Islam dan falsafah kahirupan urang Sunda.

Sepertinya akulturasi antara faslafah kehirupan urang Sunda dengan Islam itu kian memudar. Masalahnya di tengah-tengah ketimpangan ekonomi, sering memicu terjadinya perang mulut dan kurang akur dalam keluarga. Jangankan di kalangan masyarakat bawah, masyarakt kaya juga tidak sedikit yang melakukan perceraian.

Ironisnya, perceraian kali ini benyak diajukan dari pihak isteri yang merasa tidak terpenuhi kebutuhannya (baca: ekonomi). Kita lihat saja dalam tayangan info tainment. Banyak selebritis mengajukan gugatan cerai pada suaminya. Dengan alasan sudah tidak cocoklah, ada pihak ketigalah, dan  itu ini mereka berdalih untuk mencari kemenangan. Padahal setelah diketahui, tetap masalah klasik yang jadi penyebab, faktor ekonomi yang timpang.

Kasus serupa terjadi di kalangan masyarakat bawah. Salah satu contohnya di Sumedang, sebagaimana diberitakan media ini Jumat (14/03/2008). Hampir pada setiap tahunnya, 1.500 hingga 2.000 pasangan suami isteri mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Sumedang.

Bedanya adalah; jika kaum selebritis mengajukan gugatan cerai karena tingkat penghasilan lebih besar dari pada suami. Karena kondisi ekonomi hari ini, memaksa masyarakat desa untuk menerima harga kota dengan pengahsilan desa. Artinya harga sembako terus melambung tinggi; di kota dan di desa sama saja. Sedangkan penghasilan antara masyarakat kota dan desa berbeda jauh sekali.

Tentu sebelum merambah lebih besar perilaku perceraian ini. Berbagai lapisan bengsa ini perlu berpikir lebih jauh lagi. Baik pemerintah, kuasa hukum, aparat, dan atau masyarakat itu sendiri. Sebab jika perceraian terus terjadi, berapa orang lagi yang akan dijadikan korban kerasnya arus zaman ini?.*** (Penulis adalah Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Bandung)

 

Masihkah Ada Peduli Kita?

FEATURE

 “Kondisi ekonomi yang tak kunjung stabil memaksa kami tergerus pada posisi sulit. Andai kami tidak percaya pada nasib, mungkin kami akan putus asa. Zaman sekarang cari duit mesti pake duit juga”. Demikian tutur seorang pedagang keliling sambil duduk-duduk sedikit mengusir lelah.

Oleh:  AMIN RAIS ISKANDAR


Panasnya pancaran cahaya si bola api raksasa terangi pelataran Kota Bandung. Langkah demi langkah diiringinya. Juga laki-laki tua yang di pundaknya memikul beban berat. Bukan sekedar barang dagangan yang nempel di pundaknya. Melainkan istri dan beberapa anaknya telah siap menanti kedatangan sang kepala keluarga membawa laba. Tentu sederhana yang diharap, agar dapur mengepul oleh asap menanak nasi.

Laki-laki yang tidak mau dipublikasikan namanya itu sengaja mengadu nasib mengerahkan tenaga demi melanjutkan kisah hidupnya. Dengan peluh bercucuran basahi tubuh. Nampak sedikit kelelahan dan lekas beristirahat. Tatapan kosong dari matanya beradu dengan pata morgana yang memantul dari panasnya aspal jalanan. Seribu harap hidup lebih baik meski apa pun cara harus ditempuh.

Dua pekan lalu, di Taman Cilaki itu, bukan barang pertama ia beristirahat. Tapi telah bertahun-tahun usaha ia jalani. Andai saja tidak pasrah pada nasib dan percaya pada takdir. Mungkin telah lama ia tinggalkan propesi yang tidak kunjung membantu dirinya menjadi lebih kaya. Sejak kulit muda masih segar hingga tua dengan kulit keriput. Sebagai kaum urban tidak pernah berganti propesi, setia pada usaha jualan alat-alat pembersih lingkungan.

Dengan menggadaikan rasa malu, gengsi. Tak jarang berkeliling menysuri jalan-jalan sempit di tengah himpitan gedung-gedung Kota menjulang langit. Dalam hatinya ia bertutur lirih. “Betapa banyak orang beruntung. Mereka dengan mudahnya berusaha dan membangun gedung-gedung mewah. Sedangkan aku hanya berjalan kaki dan tidur dalam gubuk kumuh di pinggir kota. Nasib memang kejam, seakan tidak pernah memberi keadilan pada setiap insan”.

Di sela-sela langkah-langkah gontainya. Lelaki tua si pedagang sapu itu sekali-kali memandangi plang yang bertuliskan “PANTI LANSIA”. Masih di Taman Cilaki. Karena kerasnya atmosper dunia tidak sedikit yang frustasi dan kehilangan kesehatan akal. Orang gila bertebaran di mana-mana.

Sedikit sekali tempat berteduh kalbu bagi mereka. Sehingga dengan tidak sadar harus tidur di emperan atau trotoar. Dicaci, dimaki, dan kesana-kemari diberi cibiran dan usiran.

Tak mengenal panas juga guyuran hujan. Keringat tetap saja basah dan dingin rasanya. Himpitan unstabilitas ekonomi memaksa mereka berjuang melawan kerasnya tantangan dunia. Masihkah ada peduli kita pada nasib kita sendiri?***

Persib Maung Bandung sang Fenomenal; Ahistoris?

Oleh AMIN RAIS ISKANDAR

SELALU bermain cantik, memiliki materi pemain berkualitas tinggi, suporter terbanyak nan panatik, dan pernah mengukir sejarah prestasi selangit. Itu mungkin stigma awal bagi Persib. Klub sepak bola Jabar yang cukup penomenal dan terkenal. Diusianya Tujuh Puluh Lima tahun tentu bukan usia muda jika diukur dengan usia manusia. Mestinya semakin matang dan lebih berkembang dewasa. Baik manajemen klub, materi pemain, suporter, dan tentu saja prestasi yang diukir dari atas lapangan hijau.

Betapa tidak disebut fenomenal. Persib, dengan materi pemain mayoritas berasal dari tatar Sunda. Pada tahun 1994 mencatat sejarah penting percaturan sepak bola Nasional. Setelah melibas PSM Makasar di partai final 2-0. Persib berhak memboyong piala Presiden ke Bandung. Dengan sambutan meriah para suporter (bobotoh) di Bandung. Persib secara langsung menanamkan rasa kebanggaan luar biasa di benak setiap warga Jabar. Yang paling penting, sejak hari itu Persib membumikan piala Presiden di Bandung hingga sekarang. Berhubung Kompetisi Persyarikatan di tutup pada tahun itu. Luar biasa kan?

Sejak tahun itu PSSI memutuskan untuk menggelar Liga Indonesia menggantikan Kompetisi Persyarikatan. Meski demikian ketajaman ”taring” si Maung Bandung tidak menumpul. Buktinya Persib berhasil menjadi juara setelah mengalahkan Petro Kimia di partai puncak. Skor yang tercipta 1-0 untuk Persib dengan gol tunggal ciptaan Sutiono.

Bukan hanya itu, pada tahun yang sama. Persib Bandung mewakili Indonesia mampu menembus perempat final pada laga Liga Champion. Bahkan Indra M Tohir dinobatkan sebagai pelatih terbaik se Asia. Hingga sekarang hanya Indra M Tohir satu-satunya pelatih dari Indonesia yang mencicipi prestasi pelatih terbaik se Asia. Tentu bersama tim solid sekelas Persib si Maung Bandung.

Prestasi Menurun

Di atas adalah sederet catatan manis bagi Persib. Catatan sejarah sepak bola Nasional yang siapapun dan di manapun mengakuinya. Tentu kita berharap catatan sejarah tidak pernah melupakan kedigjayaan Persib.

Namun entah mengapa. Pada putaran Liga Indonesia ke dua, prestasi Persib kian menurun bahkan menyusut. Persib hanya mampu menembus partai delapan besar sebelum akhirnya tersingkir. Bahkan pada tahun 1998 Persib berkutat pada zona degradasi. Untung saja situasi dan kondisi menyelamatkan Persib untuk tidak terdegaradasi dengan dibubarkannya kompetisi.

Laiknya orang yang terserang penyakit lumpuh. Sejak masa itu Persib sulit bangkit. Walau kompetisi kembali digelar. Persib hampir tidak dapat menemukan perporma terbaiknya, nyaris tidak ada prestasi yang terukir. Usaha untuk bangkit dilakukan pada tahun 2002. Dengan mendatangkan trio pemain asing plus pelatih asal Polandia. Persib berharap dapat kembali meraih prestasi semanis dulu. Tapi usahanya tidak membuahkan apa-apa. Bahkan kembali terperosok ke jurang papan bawah klasemen sebelum diselamatkan oleh Joan Paez.

Puncaknya pada tahun 2006 kemarin. Persib jelas-jelas terdegradasi. Lagi-lagi situasi dan kondisi menyelamatkan posisinya. Bencana alam yang menimpa Jawa Timur memaksa bebarapa klub mengundurkan diri. Akhirnya PSSI sepakat untuk menghapus sistem degradasi.

Pertanyaannya adalah mengapa hal tersebut mesti terjadi? Apa yang dianggap kurang dari Persib? Mengingat permainan cantik masih ditontonkan di lapangan hijau. Materi pemain tidak kalah berkualitas dari klub-klub lain. Para bobotoh masih tetap sepenuh hati mendukung dan tidak kurang panatik. Bahkan ada hal menarik nampak dari lapangan hijau. Tidak sedikit eks pemain Persib yang merumput di klub lain justru menunjukkan kualitas permainan yang bermutu. Lebih baik dari sebelumnya, ketika masih bergabung bersama Persib.

Kiranya seluruh lini dari pecinta Persib perlu berpikir keras. Mulai dari manajeman klub, pelatih, pemain, sampai pada bobotoh. Jangan sampai terbilang bahwa Persib ahistoris. Tidak pernah berkaca pada sejarah kejayaan masa lalu. Jika dulu bisa, mengapa sekarang tidak. Sebab saya pikir tidak ada yang berkurang dari persib sedikitpun. Kucuran dana dari pemerintah hingga Rp. 16,5 milyar, jangan keluar sia-sia. Pemain bagus bukan kebanggaan semata. Spirit bobotoh tidak surut. Lupakan kepentingan sesaat. Maju dan jayalah jaya Persib!!!.***

Mengenal Diri Lewat Tertawa

  Oleh AMIN RAIS ISKANDAR

PADA tahun 50-an, masa di mana grup pelawak “Srimulat” eksis-eksisnya dalam tayangan televisi. Seorang anak dengan garang bertanya pada bapaknya: “Untuk apa nonton srimulat? Dapat apa saya dari srimulat? Saya pikir hanya menghabis-habiskan waktu saja!!”. Selintas ucapan sang anak memang benar. Nonton Srimulat kita hanya disuguhi ungkapan-ungkapan yang menggelikan. Tentu porsi yang lebih banyak didapat selama nonton adalah tertawa. Toh Srimulat itu kan kumpulan para pelawak.

Tapi lain halnya bagi seorang bapak dari anak yang bertanya. Dengan kematangan usia, yang telah hidup lebih dari empat puluh tahunan. Sang ayah mencoba menjawab dengan tenang dan penuh kebijaksanaan. “Kita ini Nak, sudah lama tidak menjadi manusia. Kita tidak habis-habisnya berperang melawan keinginan-keinginan sempit kita sendiri. Kita sudah lama tidak menjadi manusia Nak, sudah lama sekali”. Demikian tutur sang ayah kepada anaknya.

Jika saja kita menjadi anak dari bapak tersebut, mungkin akan bertanya-tanya. “Lantas apa hubungannya dengan Srimulat?”, iya, kan?. Tapi ada beda antara anak zaman dulu dan sekarang. Dulu, seorang anak cukup diberi peringatan sekali saja. Sekarang, sekali diperingati, sang anak menyusul dengan banyak tanya, tujuannya untuk mengece. Maka tak jarang ada ungkapan seperti ini. “Anak sekarang, dikasih tau malah mengece. Dasar tidak tahu diri”.

Kemudian sang ayah berkata lagi. “Marilah kita mulai proses menjadi manusia (mengenal diri) dengan tertawa. Kita butuh Srimulat, kita butuh Srimulat yang membuat tawa kita kembali menjadikan kita manusia. Kita butuh Srimulat Nak, agar kita mengenal diri kita sendiri”. Dari ucapan sang ayah tadi, tentu terdapat falsafah hidup yang patut dipetik. Falsafah hidup belum dapat sepenuhnya dimengerti oleh anak-anak.

Pertanyaannya adalah; Ada apa dengan Srimulat? Sejauh mana fungsi Srimulat dibutuhkan sebagai proses pengenalan jati diri? Kenapa pula harus dengan tertawa? Apakah kita mampu menertawakan diri kita sendiri?.

Bukan karena nama Srimulatnya saya kira yang terpenting. Melainkan apa yang disuguhkan dalam setiap tampilan Srimulat itu. Tak perduli apa nama grup lawaknya. Sebab Srimulat merupakan salah satu seni popular berlatarkan kehidupan rakyat. Artinya tidak lebih Srimulat mengeksplorasi kehidupan nyata masyarakat dalam kesehariannya. Dari banyolanbanyolannya seakan penonton merasa bahwa itu adalah pengalaman hidupnya. Pengalaman yang ternyata pantas ditertawakan.

Meski berlatarkan gaya hidup masyarakat Jawa, bukan berarti tidak mengena bagi masyarakat lainnya. Bukankah pengalaman hidup itu banyak kesamaan satu sama lain? Dengan menggunakan gaya tutur. Srimulat kerap memberikan gambaran kehidupan yang lugu dan lucu. Keambiguan kata yang diungkapkan, bahkan sampai multi tafsir. Tentu menjadi ciri khas yang tidak bisa dihilangkan. Yang paling penting adalah; kecerdikan dalam kemasan kehidupan yang panjang dalam durasi yang singkat.

Tentu saja lawakan Srimulat tidak akan berbekas pada sembarang orang. Terutama pada siapa saja yang kurang peka untuk belajar. Alhasil tidak akan mendapat contoh untuk mengenal diri sendiri. Kecuali tawa yang kosong tak berisi. Tidak berpikir bahwa yang ditertawakan adalah diri sendiri. Artnya sejauh mana kita dapat menertawakan diri kita sendiri, sejauh itu pula akan mengenal diri sendiri. Di sanalah puncak kesejatian kita sebagai manusia; tatkala kita pandai belajar dari realitas yang ternyata patut ditertawakan.

Sekarang memang grup Srimulat kurang dikenal lagi. Tapi saya pikir ruhnya masih berkeliaran di sekitar kita. Jadi jangan takut kalau kita tidak bisa belajar hanya karena Srimulat telah mati. Masalahnya adalah masihkah ada keinginan kita untuk belajar. Belajar dari tawa orang yang sesungguhnya sedang menertawakan diri sendiri. Parahnya masyarakat sekarang tidak banyak yang berminat belajar. Apalagi sampai menertawakan diri sendiri. Jangankan ditertawakan oleh orang lain.

Padahal jika kita rajin menonton televisi, hampir seluruh stasion televisi menyuguhkan lawakan-lawakan bergaya tutur seperti Srimulat. Meski latar dan isu yang diangkat tidak sepenuhnya dari kehidupan rakyat, tetap saja menggambarkan kehidupan yang butuh perenungan (baca: pembelajaran). Lihat saja acara News.Com dan Demo Crazy di MetroTv, Tawa Sutra di ANTV, Extravaganza di Trans TV, dan banyak lagi tayangan lainnya.

Masih kurangkah wahana pembelajaran kita untuk mengenal jati diri? Coba kita renungkan apa yang setiap hari kita tertawakan bersama taman kita. Dari ucapan, bahasa tubuh, atau kebodohan kita yang jadi bahan tertawaan. Atau jangan-jangan kita juga berbakat membuat gruf lawak seperti Srimulat? Why not?.***