Oleh AMIN RAIS ISKANDAR
Turunkan Harga Sembako
Turunkan lekas harga sembako
Agar kami dapat makan nikmat
Seperti anda-anda wahai pejabat
Sudah bosan rasanya makan dengan TO
Tutug Oncom bukan tidak nikmat
Bukan juga berarti tak bergizi
Tapi habis duit buat beli nasi
Tak dapat hidup nikmat dalam melarat
Harga bahan baku melambung tinggi
Bala-bala tak terjangkau dibeli
Apalagi beli daging dan ati
Hanya makan nasi dan gigit jari
Ini musim; musim pemilu
Duit hambur ongkos kampanye
Tukang warung sementara tutup dulu
Modal habis barang tak nyisa
Sebab pusing gundul kepala
Jangankan sayuran dan susu
Yang ada pamphlet kampanye
Sebab ini musim; musim pemilu
Hidup di kota sebagai mahasiswa
Makan sehari hanya sekali
Di desa; ibu tani bapak dah mati
Otak ngumet badan kurang gizi
Jangan salahkan jika ‘ga kerja.
Bandung, Maret 2008
Qurban
Yang pigur
Yang tidak mundur
Menyembelih putra di padang pasir
Tiga syetan pergi karna diusir
Kaki diinjak
Tangan diikat
Rambut dijambrat
Nadi leher tipotong; urat
Untung tiada berontak
Berserah pada satu perintah
Anak dan bapak
Sepakat dalam satu cinta
Patuhi mimpi perintah
Satu yang harus dipatuh.
Tuhan pencinta
Semalam datang lewat mimpi
Putra
Harta
Dan tahta
Menjelma Tuhan baru manusia
Memperbudak
Dipuja
Dan diindahkan
Lupa bahwa hanya amanat
Putra dimanja
Harta dijaga
Tahta dibela
Tuhan?
“tertawa” menyaksi alpa manusia.
Tasikmalaya, Desember 2007.
Stabilitas
Di sini dan di sana sama saja
Mengumpul harap
Membangun kekuatan hidup
Dalam persimpangan aku berjelaga
Mencoba ungkapkan marah
Dengan senyum kedamaian
Menekan emosi
Sembunyikan seram mimic muka
Meleset dari sasaran
Anggaplah hal biasa
Jangan patahkan semangat
Perjuangan hanya untuk maju
Kadang aku membangun
tanpa nikmati kemegahan
tapi saat berhenti membangun
justru mencuri kenikmatan.
Bandung, Februari 2008
Aku berdiri di atas
kertas-kertas polos
Dipenuhi hasrat meretas
Nasib di hari keras.
Bandung, Februari 2008.
Surat Buat Evi
Aku yang mengagumimu memandang lekat wajah dari jauh
dan telah lama sekali.
Entah mengapa dan dari mana.
Serasa ada percikan cahanya kehangatan menusuk sukma
dan luluhkan pertahanan kokoh Keimanan
yang telah lama dibangun Dengan keikhlasan nan tulus.
Kamu yang kupandangi setiap waktu di bawah cahaya rembulan
laksana membangun lebirin penuh teka-teki logika sulit dipahami.
Kelembutan tatapan mata nan ayu
mengalirkan sungai anggur memabukan dengan deras
dalam relung-relung kekosongan jiwa ini.
Padahal keheranan terasa dari kamu yang belum kukenal namanya.
Aku sekedar penulis syair-syair cinta tanpa menemukan keaslian cinta di hati
Namun entah mengapa di balik kegersangan cinta nyata ini
Mendorongku bayak harap agar cahayamu memancar lebih terang lagi.
Tentu do’aku bertutur agar kau sanggup membantu.
Meski kamu belum kenal aku, luangkanlah waktumu tuk balas secercah isi hati ini.
Dan aku yang hidup di Dunia Maya “085222837555”, memohon dengan sangat!!!.
Bandung, Maret 2008
Refleksi Maulid Nabi
Pada hari kelahiran Nabi
12 Rabiul Awal tahun ini
Cahaya profhetic kian memudar
Benar dan salah berganti mondar-mandir
Spirit spiritualitas berwajah tak jelas
Pragmatis dan idealis tiada berbatas
Benar dan salah ‘ga lagi berharu
Putih dan hitam bersatu jadi abu
Dalam bimbang
Berpikir seorang diri;
Perang pedang bukan zaman lagi
Agama berperang di panggung dagang
Kupandang pada kupu-kupu
Indah sayapnya jadi icon baru
Televisi tidak aneh menjelma tuhan
Bervolume tinggi di rumah peribadatan
Kudengar dari imam Ali Syariati
Semakin tinggi alat teknologi
Semakin besar kebiadaban
Jika etika publik kian diabaikan
Hijrahku pada masa lalu
Saat bermukim di kaki Galunggung
Mendiang ayah pernah marah besar
Bendu pada cerita “Lutung Kasarung”
Televisi is buat aku tabu
Ketika 12 Rabiul Awal itu
Puja-puji mengalun merdu
Dalam genre klasik di tiap mesjid
Tak ada music tiada joged
Mimbar disulap jadi panggung konser
Medium penyampai pesan profhetic
Bersandar harap “syafaat” deras mengalir
Niat tak lagi dibiar melirik
Bandung, Maret 2008